Next Post

Tiga Kali Bebaskan Sandera, Mang Udin Dapat Apresiasi Justru dari OPM

Mayjen TNI Purn. Samsudin

Jakarta, Genta News – Tak semua pihak setuju dengan langkah Kolonel Samsudin membebaskan sandera dengan Operasi Sandhi Yudha. Padahal operasi itu sengaja ditempuh untuk mengeliminasi jatuhnya korban, meski waktu yang diperlukan lama dan banyak menguras energi dan materi.
Suatu hari Samsudin pun didamprat Wakil Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV yang bermarkas di Biak. Pangkatnya Mayor Jenderal. Samsudin dianggap tak becus dan hanya menghabiskan anggaran. Kala operasi itu dilakukan, Mei – September 1978, Samsudin menjabat Asisten Operasi Kodam Cendrawasih dengan pangkat Letkol lalu Kolonel.

“Saya akan sarankan kepada Pangdam agar you diganti kalau tidak becus,” damprat sang Jenderal seperti ditulis Samsudin dalam buku “Memburu Cipta, Rasa, dan Karsa”.

Meski sakit hati, Komandan Grup I Kopassus, 1973 – 1975, itu memilih diam. Ia merasa percuma menjelaskan karena si Jenderal pasti tak akan paham modus operandi yang dijalankannya. Tapi ketika semua sandera berhasil dia bebaskan dalam tiga tahap operasi, si Jenderal kembali memanggilnya.

“Tak ada setetes darah pun yang tertumpah dan tidak ada sebutir peluru pun yang ditembakkan,” kata Samsudin menjelaskan. “O begitu,” jawabnya manggut-manggut.

“Ah, taik lu! Tak semua jenderal pintar, banyak kok yang goblok kayak lu,” Samsudin mengumpat dalam hati.

Dia juga kecewa berat karena Asisten Operasi KSAD rupanya tak pernah membaca laporan rutin tentang proses pembebasan para sandera yang dikirimkannya. Seminggu setelah semua sandera bebas, si Asop malah baru bertanya soal kondisi para sandera.

“Lebih konyol lagi, jauh hari setelah sandera dibebaskan ada perwiera yang mengira bahwa aku termasuk yang disandera gerombolan OPM,” tulis Samsudin.

Para koleganya biasa memanggil lelaki kelahiran Tanjung Balai, 27 Desember 1937, itu ‘Mang Udin’. Di Irian Jaya (Papua) dia bertugas hingga menjadi Kepala Staf Kodam Cendrawasih, 1981-1982, dengan pangkat Brigjen. Dia lalu menjadi Pangdam Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, 1982-1985.

Bintang dua melekat di pundaknya dalam jabatan Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri, 1985-1987, di Bandung. Sebelumnya dia menolak tawaran KSAD Jenderal Rudini untuk menjadi Gubernur Kalimantan Selatan.

“Saya ingin pensiun dalam pakaian dinas tentara, bukan pakaian safari,” elaknya.

Mayjen Samsudin menuliskan semua pengalamannya menjadi buku setebal 414 halaman. Ia menuliskannya selama lebih dari setahun di masa pandemi Covid-19.

“Saya tulis tangan dan menghabiskan satu rim kertas,” kata Samsudin saat berbincang dengan detikcom, Kamis (16/3/2023).

Ketika penyanderaan berlangsung, belum ada panduan baku bagaimana cara membebaskannya. Apa yang dia lakukan hanya mempraktikan teori dasar yang diajarkan Brigjen Wijoyo Soeyono di Cijantung. Selebihnya mengandalkan naluri kemanusiaan dan improvisasi di lapangan.

“Aku benar-benar terjun bebas menangani pembebasan para sandera,” kata Samsudin.

Dia lantas membandingkan operasi pembebasan sandera yang dilakukannya itu dengan Operasi Woyla (1981) yang melambungkan nama Sintong Panjaitan dan Operasi Mapenduma di bawah Danjen Kopassus Prabowo Subianto. Kedua operasi tersebut mendapatkan perhatian dari para petinggi ABRI dan mendapat liputan luas dari media. Mungkin karena pembajakan Woyla terjadi di Bangkok, dan Mapenduma melibatkan tujuh warga negara asing sebagai sandera.

Mereka kemudian mendapat penghargaan kenaikan pangkat luar biasa dan dianugerahi Bintang Sakti. Anggota yang gugur diberi kenaikan dua tingkat dari pangkatnya semula,” tulis Samsudin.

Ia pribadi yang berkali-kali mengambil risiko maut, bersama Kapten Zacky Makarim, Kapten Hasyim Mangga, Kapten Lubi, dan Kapten Arifuddin menyelamatkan banyak nyawa sandera, termasuk menyelamatkan nyawa gerombolan OPM dan rakyatnya dari pembalasan oknum-oknum tentara tak menikmati penghargaan semacam itu.

Apresiasi terhadap Samsudin justru datang dari Kolonel Marthin Tabu dari Tentara Pembebasan Nasional OPM yang menjadi lawannya selama operasi. Sungguh Ironis!
Dia menulis surat penghargaan kepada Samsudin pada 1 Mei 1979.

“Anak Udin yang bijaksana. Saya Bapak Marthin benar-benar hormat tinggi atas semua tindakanmu yang amat baik, serta berguna demi keamanan serta ketertiban lagi kemajuan dan kemakmuran kita….”
  

 

Sumber:https://news.detik.com/berita/d-6627991/tiga-kali-bebaskan-sandera-mang-udin-dapat-apresiasi-justru-dari-opm

Adm

Related posts